Connect with us

Minda Kita

Yang Berpantun, yang Berjasa

Published

on

Negeri pantun adalah sebuah sebutan lain bagi Kota Tanjungpinang Kota Gurindam. Sebutan ini dikukuhkan pada sekitar tahun 2008 saat penyerahan Rekor MURI Berbalas Pantun Terlama Selama 6 Jam Tanpa Henti di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Sejak saat itulah Kota Tanjungpinang bergelar Negeri Pantun. Namun dibalik pencanangan nama tersebut terdapat sejumlah nama yang boleh dikatakan sebagai pahlawan dalam pemberian gelar Negeri Pantun tersebut, dan peran dengan peran merekalah sehingga Kota Gurindam mendapatkan gelar Negeri Pantun tersebut. 

Suryatati A. Manan, merupakan tokoh yang sangat penting. Siapa yang tak mengenal sosok ini di Kota Tanjungpinang. Tatik, begitulah sapaan akrabnya. Atau masyarakat kerap memanggilnya dengan panggilan ‘bu Tatik. ‘Bu Tatik merupakan Walikota Tanjungpinang yang memulai karirnya sebagai Walikota Administratif Tanjungpinang sejak tahun 1996 hingga 2001. Kemudian sejak Kota Administratif Tanjungpinang dinaikkan statusnya menjadi Kota Tanjungpinang pada tahun 2001. Kemudian beliau juga terpilih kembali menjadi Walikota Tanjungpinang pada periode 2003-2008 dan 2008-2013. Di masa kepemimpinan Suryatati A. Manan inilah geliat Kota Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun mulai semarak. Dalam sebuah perhelatan yang diberi judul “Gawai Seni”, peraduan pantun kerap muncul sejak tahun 2006 hingga acara puncak Pemecahan Rekor MURI Berbalas Pantun terlama selama 6 jam Tanpa Henti di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Puncak acara yang dihelat pada 29 April 2008, Kota Tanjungpinang di bawah kepemimpinan Suryatati A. Manan mendapatkan dua penghargaan tingkat nasional. Museum Rekor Indonesia (MURI) memberikan dua penghargaan kepada Suryatati A. Manan yaitu sebagai pengagas Tanjungpinang Negeri Pantun, dan Empu Pantun. Jaya Suprana di malam anugerah MURI mengatakan bahwa “Tatik adalah salah seorang perempuan sebagai simbol kebangkitan perempuan Indonesia pada abad ini (abad 21-pen) (Kadir, 2009). Begitulah peran besar Suryatati A. Manan sehingga Kota Tanjungpinang Kota Gurindam bergelar Negeri Pantun. 

Allahyarham Tusiran Suseno, adalah tokoh yang tak boleh juga dilupakan dalam menggaungkan pantun di Negeri Pantun. Ayah Seno, begitulah sapaan akrab penyair dan penyiar RRI ini disapa oleh murid-muridnya. Penulis yang novelnya pernah mendapatkan Juara II dalam Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) berjudul “Mutiara Karam” pada tahun 2006 ini begitu banyak pengaruhnya terhadap membesarkan pantun sehingga menyebar di seantero Kota Tanjungpinang dan bahkan ke tingkat nasional. Seno boleh dikatakan Mahaguru Pantun yang kemudian membuat sebuah petunjuk bagaimana membuat pantun dengan mudah, cepat namun tepat. Bukunya berjudul “Mari Berpantun”, adalah sebuah buku yang paling berpengaruh menyebarkan fatwa-fatwa bagaimana belajar membuat pantun dari tingkat dasar hingga membuat pantun dengan tangkas dan cepat. Buku yang kemudian menjadi rujukan banyak siswa dan kalangan pengiat pantun di Kota Tanjungpinang ini adalah kitab suci, bagi kalangan siswa dan pengiat pantun yang ingin belajar pantun. Buku ini kemudian diaktualisasi menjadi sebuah perhelatan yang disebut dengan Peraduan Berbalas Pantun. Peraduan Berbalas Pantun kerap bukan saja merupakan ajang lomba berbalas pantun di kalangan masyarakat, namun juga menjadi seni pertunjukan hiburan yang menggunakan pantun sebagai alat komunikasi antar pemantun di dalam sebuah pertunjukan tersebut. Dengan begitulah pantun kemudian menjadi booming di Kota Tanjungpinang yang kemudian menghantarkan Kota Tanjungpinang menjadi Negeri Pantun. Ayah Seno juga yang kerap menjadi penasehat terbaik bagi pemerintah Kota Tanjungpinang untuk terus mengembangkan dan melestarikan pantun di kalangan masyarakat. Tak hanya itu, Ayah Seno juga memiliki murid-murid yang hingga kini menjadi penerus estafet dalam pelestarian dan pengembangan pantun di Kota Tanjungpinang Kota Gurindam Negeri Pantun. Dengan jasa-jasa Ayah Seno ia mendapatkan penghargaan Panggung Melayu Award sebagai pengiat pantun pada tahun 2008. 

H. Muhammad Ali atau lebih dikenal sebagai Datok Alipon merupakan seorang Maestro Pantun. Tok Ali, begitulah sapaan akrab beliau. Mendapatkan penghargaan sebagai Maestro Pantun oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia tertanggal 4 Desember 2007. Penghargaan ini diterima oleh Tok Ali tanggal 4 Juni 2008 yang diserahkan langsung oleh Presiden Republik Indonesia saat itu yaitu Bapak Susilo Bambang Yudhoyono di Gedung Jakarta Convention Centre (Zakbah, 2009). Beliau ditetapkan sebagai Maestro Pantun karena telah berkarya dan berkiprah di dalam dunia pantun lebih dari 20 tahun. Pada saat dinobatkan sebagai Maestro Pantun beliau berumur sekitar 67 tahun, dan saat ini beliau sudah berumur lebih kurang 80 tahun. Beliau juga masih terus aktif dalam proses pewarisan pantun di kalangan masyarakat khususnya generasi penerus.  Tok Alipon sudah menjadi pemantun di dalam adat istiadat pernikahan Melayu sejak tahun 1971. Di dalam sebuah buku yang ditulis oleh Zakbah Binti Ali Usman (2009) dijelaskan bahwa awalnya Tok Ali berpantun pada tahun 1971 itu adalah sebuah ketidaksengajaan karena ia menggantikan posisi seseorang yang ketika itu tidak siap melakukan tugas yang diembangkan kepada beliau. Maka Tok Ali diminta untuk menggantikan posisi beliau, jadilah Tok Ali sebagai bidan terjun, dan Ketika itu terucaplah sebuah pantun yang berbunyi,

Buah cempedak ditepi pagar 
Ambil galah tolong jolokkan 
Saya ini budak baru belajar
Kalau salah tolong tunjukkan. 

Semenjak saat itu Tok Ali kerap diminta mewakili pihak keluarga untuk acara adat istiadat pernikahan Melayu mulai dari meminang, hinggalah kepada penyerahan pengantin sebelum diijabkabulkan. Dengan kiprah beliau sejak 1971 tersebut, maka Pemerintah memberikan sebuah anugrah sebagai Maestro Pantun pada tahun 2007, dan hingga kini Tok Ali masih aktif dalam pelestarian pantun di Kota Tanjungpinang Negeri Pantun.  

Satu lagi tokoh yang cukup berperan dalam menggaungkan pantun di Negeri Pantun adalah Tamrin Dahlan. Seorang pejabat pemerintah yang gemar dan aktif dalam menggaungkan pantun di Negeri Pantun ini hingga saat ini masih aktif menjadi pemantun adat istiadat pernikahan Melayu di Negeri Pantun. Hingga saat ini mungkin telah ribuan pasang pengantin yang beliau “pantunkan” pada perhelatan adat istiadat pernikahan Melayu. Ayah Tamrin, begitu sapaan beliau oleh murid-murid pantun beliau. Karya beliau berjudul “Pantun dalam Perkawinan Melayu” yang diterbitkan pada tahun 2005 telah menjadi rujukan dalam berpantun pada adat istiadat pernikahan Melayu. Keaktifan beliau menjadi “pemantun nikah” yang kini disebut sebagai “juru bual” sehingga sering orang menyebutnya sebagai Spesialis Pemantun Nikah atau disingkat SPN. Ayah Tamrin juga yang kini aktif sebagai Pengurus Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau Provinsi Kepulauan Riau kerap menjadi rujukan para generasi penerus yang kemudian menjadi estafet dalam urusan pantun dalam adat istiadat pernikahan Melayu.

Banyak lagi yang berpantun, yang berjasa dalam hal menggaungkan Kota Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun, misalnya Allahyarham Amiruddin, Allahyarham Abdul Karim Wahab, Allahyarham Shahrul yang juga merupakan Walikota Tanjungpinang (periode 2018-2020). Nama-nama besar mereka baik yang kini masih aktif dalam pelestarian pantun ataupun sudah tiada, tidaklah dapat diremehkan, karena usaha dan perjuangan mereka dalam membesarkan dan menghidupkan pantun di Negeri Pantun. Pertanyaannya kini bagaimana dengan generasi  penerus yang terus memberikan nafas panjang kepada Negeri Pantun. Senarai nama seperti Yoan S Nugraha, Barozi Alaika, Zainal Anbiya, Al Mukhlis, Al Naziran, dan banyak nama-nama pemantun muda yang kini menjadi harapan kedepan untuk senantiasa memberikan nyawa dan nafas kepada Tanjungpinang Kota Gurindam Negeri Pantun.***

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Minda Kita

Bicara Parikan dan Pantun

Published

on

Pada masyarakat Jawa dengan sebuah puisi lama yang dianggap sebagai sebuah puisi abadi yang takkan lekang dimakan zaman yang bentuknya adalah pantun, namun pada masyarakat di Jawa menyebutnya sebagai parikan, yaitu sejenis puisi yang sangat merakyat karena mudahnya dibuat dan diucapkan oleh siapapun tanpa pandang umur, tempat atau pendidikan. Susunannya sangat bebas, hanya ia terbagi dalam dua bagian yang fundamental, yang biasa disebut dengan sampiran dan isi. Sampiran pada parikan adalah bagian pertama yang merupakan wadah, dan isi pada parikan adalah bagian kedua yang menjadi pelengkap, pasangan atau jodoh bagi wadah yang sudah dipersiapkan. Kedua bagian tersebut di dalam parikan, menjadi sebuah loro-loro atunggal, atau dwitunggal, monodualisme. Sebagaimana dwitunggal manapun yang mungkin ada di dunia ini, yang satu mustahil ada tanpa yang lain, dan demikian sebaliknya. Kehadirannya baru sah, alamiah, dan vital apabila kedua-duanya ada, saling melengkapi dan memenuhi fungsinya sebagai karya seni yang indah, mendidik dan sekaligus menghantarkan kenyataan hidup (Toer, 2011). 

Kemudian Toer (2011) juga menjelaskan bahwa sampiran berisi bunyi yang merupakan tantangan, apabila tantangan sudah dilontarkan maka jawaban harus diberikan. Tidak ada tantangan tidak ada pula jawaban, sebaliknya tidak mungkin ada jawaban jikalau tanpa adanya tantangan. Dari segi bentuk pun, parikan baru memenuhi fungsinya apabila sudah terlaksana kerjasama serasi antara kedua unsur yang saling melengkapi ini (Toer, 2011).

Penjelasan di atas, menunjukkan bahwa parikan adalah sebuah pantun, hal ini dapat dibuktikan bahwa di dalam parikan, terdapat sampiran dan isi. Malah parikan memiliki karakter yang sangat spesifik dan mirip dengan karakter dan ciri pantun Melayu. Di mana bagian sampiran atau dalam pantun Melayu disebut dengan pembayang maksud memiliki hubungan semantik dan terkadang mengandung hubungan yang saling melengkapi pada isi pantun. Sehingga beberapa pendapat bahwa pembayang maksud pada pantun Melayu adalah sebuah frase yang mengantarkan isi pantun namun sudah terlihat dari sampiran atau pembayang maksudnya. Seorang pengkaji pantun, Muhammad Haji Salleh pernah mengutip pendapat Za’ba dan kemudian ditulis oleh Eizah Mat Hussain (2019) di dalam sebuah bukunya berjudul “Simbol dan Makna dalam Pantun Melayu” menjelaskan bahwa,

“…jika pantun yang cukup elok boleh dilihat pembayangnya mengandungi maksud pantun itu dengan cara kias dan bayangan disambilkan kepada gambaran-gambaran alam dan sebagainya. Tujuan yang dimaksud itu telah ada terbayang disitu, tetapi nada terang seolah-olah sengaja ditudung…” (Za’ba, 1965; Salleh, 2006; Hussain, 2019).

Hal tersebutlah yang kemudian menjadi sebuah pertanda bahwa parikan juga memenuhi unsur pantun dan bahkan memiliki karakteristik yang hampir sama dengan pantun Melayu. Antara parikan dan pantun Melayu yang memiliki sifat yang sama dengan dibuktikan dengan adanya keterkaitan, hubungan dan ketergantungan sampiran dan isi secara semantik. Ciri seperti inilah yang kemudian menjadi parikan itu adalah sebuah pantun yang sampiran dan isinya adalah dwitunggal. Dua hal yang saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Sehingga kualitas pantun atau parikan itu memiliki kualitas yang baik. 

Di dalam parikan ada beberapa istilah yang memang tidak dijumpai pada pantun, namun hal ini hanya istilah penyebutan untuk sebuah bagian pada parikan. Dalam menyebutkan baris, di dalam parikan disebut dengan gatra. Masing-masing gatra terdapat dua potongan yang disebut dengan pedhotan. Di dalam parikan yang berjumlah empat baris, maka dua gatra pertama disebut dengan sampiran dan dua gatra selanjutnya disebut dengan isi.  Sementara parikan yang berjumlah dua baris maka gatra pertama disebut sampiran dan gatra kedua disebut dengan isi (Toer, 2011). Parikan dua baris disebut dengan parikan tunggal, sementara pada pantun, pantun yang terdiri dari dua baris disebut dengan karmina atau pantun dua kerat, dan bersajak A,A. Sementara parikan yang terdiri dari empat baris disebut dengan parikan ganda, dan bersajak A,B,A,B (Toer, 2011). Persajakan ini juga sama halnya dengan pantun pada umumnya. 

Mari kita simak beberapa contoh parikan berikut yang juga dikaitkan dengan pantun. Perhatikan parikan tunggal berikut yang kita bandingkan dengan karmina atau pantun dua kerat. Berikut contoh parikan tunggal. 

Mlaku-mlaku wira-wiri (4 kata, 8 suku kata)
Tekan gardhu nyandung watu (4 kata, 8 suku kata)
Ngaku-aku dadi tani (4 kata, 8 suku kata)
Nyandhak garu jare luku (4 kata, 9 suku kata)

(Sumber Parikan Ganda: Toer, 2011)

Perhatikan pantun berikut. 

Apa guna pasang pelita (4 kata, 9 suku kata)
Jika tidak dengan sumbunya (4 kata, 9 suku kata)
Apa guna bermain mata (4 kata, 9 suku kata)
Jika tidak dengan sungguhnya (4 kata, 9 suku kata)

(Sumber pantun: Marsden, 1784)

Perhatikan antara keduanya, perbedaan antara kedua tradisi lisan ini hanyalah dari sisi penggunaan bahasanya, jika pada parikan ganda menggunakan bahasa Jawa yang memang ciri khas dari parikan, sementara pada pantun adalah bahasa Melayu, dan pantun itu merupakan pantun yang cukup tua yang ditemukan oleh Marsden dan kemudian ditulis di dalam bukunya berjudul The History of Sumatera (1784). Antara keduanya jika dilihat dari adanya sampiran dan isi, maka keduanya memiliki bagian tersebut, di mana dua baris pertama tampak merupakan karakteristik bahasa sampiran, dan dua baris berikutnya disebut isi. Penggunaan jumlah kata dan suku kata adalah sesuai dengan jumlah kata dan suku kata pada pantun, demikian juga persajakan yang digunakan, bahkan tidak hanya persajakan akhir, namun persajakan juga bermain di tengah atau pada kata kedua sebagaimana pada kata yang dicetak tebal. Hal ini menyimpulkan bahwa parikan sesungguhnya adalah berjenis pantun yang terdapat di tanah Jawa, dan hal ini membuktikan bahwa pantun bukanlah hanya terdapat di tanah Melayu saja, dan masih banyak daerah lain yang memiliki sifat tradisi lisan yang bentuknya adalah pantun atau serupa pantun, dan parikan adalah tradisi lisan di Jawa yang juga adalah pantun.***

Continue Reading

Minda Kita

Panggung yang Sebenarnya

Published

on

“Sudah lama rasanya kita tak merasakan hentakan musik dan kilau cahaya lampu yang memenuhi ruang kemudian kita bisa berteriak sekuat hati untuk menumpahkan rasa,” begitu ucap Mahmud di belakang panggung gedung kesenian Aisyah Sulaiman Tanjungpinang, kemarin.

Gedung kesenian yang mengambil nama seorang perempuan penulis hebat yang hidup di Pulau Penyengat pada zamannya dulu. Ya, Raja Aisyah Sulaiman.

Gedung kesenian itu selama ini kosong karena pandemi melanda negeri ini. Orang-orang dilarang untuk berkumpul. Acara-acara kesenian dihapuskan, istilahnya “refocussing” anggaran, uangnya dibelikan sembako untuk menyelamatkan rakyat dari kesulitan, tapi seniman tetap saja tak kebagian, malah para seniman-seniman yang susah itu disuruh berkarya dari rumah tampil di depan kamera dan penontonnya adalah lensa, itupun bagi para seniman yang punya handphone bagus dengan kamera canggih kalau pakai handphone “senter” jangan harap bisa. Gelap nasibnya.

Ya, gelap seperti ruangan ini karena baru saja digelapkan pertanda acara segera dimulai. Tohar si manager panggung mulai memberi aba-aba kepada semua kru.

Tak usah dipikirkan berapa banyak penonton atau ada-tidak pejabat yang hadir, karena itu tidak penting. Yang penting adalah bahwa inilah panggung yang sebenarnya, tempat seniman menampilkan karyanya.

Mahmud, kawan baik saya itu sudah melakukan pemanasan karena dia adalah salah satu penampil pada malam itu dalam acara yang diberi tajuk Festival Dermaga Sastra. Katanya, dia akan membaca puisi sebagai pengantar karena puisinya itu sudah dijadikan sebuah lagu dan dinyanyikan oleh Yogi dengan aransemen Raja Helmi and The Adam Band.

Dermaga? Saya tanyakan pada Mahmud, kenapa harus dermaga, kawan saya itu menjawab, “Dermaga itu adalah gambaran kehidupan tentang dunia ini, tempat orang datang dan pergi, berpisah atau bertemu kembali, membongkar semua yang dibawa, berjual beli dan melepas rindu ketika kapal-kapal bersandar kemudian melepaskan talinya lagi.”

Waduh, mentang-mentang mau membaca puisi, jawaban Mahmud terdengar puitis sekali dan malam itu ada sederetan nama yang melepaskan rindunya membaca puisi dipandu oleh Fatih Muftih penyair muda yang malam itu bertindak sebagai pemandu acara yang cerdas dan menghibur.

Hasan Aspahani dari Jakarta, Syamsudin Adlawi dari Banyuwangi, dan Marhalim Zaini dari Pekanbaru adalah para tetamu kami malam itu. Tapi tuan rumah seperti Bu Suryatati A. Manan mantan wali kota Tanjungpinang yang penyair itu seperti tak mau dikalahkan.

Apalagi Pak Joko Yuhono Jaksa Penyair yang selalu tampil mengejutkan membuat Fatih memberi nilai sebuah penampilan berstandar tinggi dan membuat Tarmizi Rumahitam dari Batam langsung grogi.

Dato Rida tampil menawan kemudian Rendra dan Yoan yang dipuji oleh Hasan. Katanya, Yoan dan Renda pantas tampil di Jakarta. Tapi Teja dan Akib pasangan “duet maut” yang biasanya tampil apik malam itu membuat semua tergelitik terpingkal-pingkal mungkin latihan yang belum kelar dan kabarnya sejak malam itu pasangan itu dinyatakan bubar.

Oh ya malam itu acara dibuka oleh pembacaan puisi oleh pasangan suami-istri birokrat yang menjadi kepala dinas bidang yang sama hanya wilayahnya berbeda, Juramadi Esram Kepala Dinas Kebudayaan Kepri dan Meitya Yulianti, istrinya, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Tanjungpinang.

Rasanya malam itu terlalu cepat berlalu dan gedung kesenian itu gelap kembali. Memang begitulah setiap perjalanan, dimulai dan berhenti, riuh dan kemudian sepi, tapi kita tak boleh berhenti, harus tetap menulis apa saja yang kita rasakan, kegaiban minyak goreng, saktinya pawang hujan Mandalika, misteri birahi tiga priode atau “crazy rich” yang gila dipenjara.

Mahmud dan mereka yang baru saja tampil terutama para tetamu akhirnya terdampar di “Prata Roy” malam itu. Ngopi atau teh tarik pesta kecil-kecilan yang menarik sebagai bentuk cara perpisahan yang terbaik. 

Sampai jumpa lagi di panggung lain nanti.***

Continue Reading

Minda Kita

Malaysia Hentikan F1, Bintan Minat

Published

on

Malaysia mencoret F1 di Sepang Malaysia karena rugi setelah 17 tahun digelar di sana. Untuk setiap tahun diperlukan 300 juta ringgit. Dan mereka tak dapat untung dari modal yang pemerintah keluarkan tersebut. 300 juta ringgit itu setara Rp1 triliun lebih. 

 Kondisi tak balik modal pemicu F1 di Sepang ditiadakan. Ini menurut pemerintah Malaysia yang dikutip dari Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Malaysia, Datuk Seri Nazri Abdul Aziz yg dikutip dari Malaymailonline.

Kerugian disebabkan tiket terjual tak sesuai dengan target. Bisa dikatakan sepi peminat. Beda dengan Motor GP tetap mereka pertahankan di Sepang karena masih untung.

Dan menarik Bambang Soesatyo yang juga ketua IMI mengajak investor akan membangun sirkuit F1 di Lagoi, Bintan, Kepulauan Riau yang juga tetangga Malaysia. 

Nilai proyek sebesar Rp1 triliun lebih. Artinya hampir sama dengan biaya yang dikeluarkan Malaysia dalam melaksanakan pergelaran F1 setiap tahun. 

Jika benar yang dikatakan menteri Pariwisata Malaysia besarnya biaya F1 yang mereka keluarkan 300 juta ringgit per tahun, apakah penjualan tiket di Bintan jika jadi dilaksanakan di sana bisa menembus 300 juta ringgit?

Kalau hanya mengandalkan turis, tentu Malaysia lebih banyak dikunjungi turis mancanegara dan mudah dijangkau dibandingkan dengan Bintan. 

Artinya penonton lokal Malaysia tak tertarik menonton F1 sehingga mereka merugi alias tak balik modal yang sudah dikeluarkan.

Nah, jika jadi di Bintan beberapa tahun mendatang, bisa saja penontonnya dari warga setempat dan pejabat pejabat dari ibukota. Kalangan kaya di Jakarta dan kota besar lainnya bisa ke Bintan.

Pertanyaannya,  mengapa tak dibuat di Jakarta atau gunakan sirkuit Sentul yang sudah ada. Tak membangun dari nol jika dibandingkan dengan Bintan. Bahkan balapan Formula E  yang digagas Anies Baswedan di Jakarta rencana digelar tahun ini.

Bambang Soesatyo tahun 2021 memang sempat mewacanakan sirkuit Sentul akan digunakan sebagai lokasi ajang balapan F1, seperti disiarkan Tempo.co. 

Ya, kita tunggu sajalah apakah akan benar benar dilakukan pembangunan di Lagoi. Karena investor dari Singapura sudah minat membangun sirkuit F One.

Moga saja Bintan seperti Mandalika, sukses melaksanakan Motor GP. Jika jadi dilaksankan pembangunan sirkuit maka akan siap di 2024. 

Kita bisa mendengarkan suara dentuman kecepatan jet darat tersebut dari Simpang Lagoi. Karena tentu menonton kemewahan seperti F1 tak semua orang bisa.

Harga tiket masuk F1 bisa dapat minyak goreng dan beras maupun sembako lainnya untuk kebutuhan satu hingga dua Minggu.***

Continue Reading

Trending