Pada masyarakat Jawa dengan sebuah puisi lama yang dianggap sebagai sebuah puisi abadi yang takkan lekang dimakan zaman yang bentuknya adalah pantun, namun pada masyarakat di Jawa menyebutnya sebagai parikan, yaitu sejenis puisi yang sangat merakyat karena mudahnya dibuat dan diucapkan oleh siapapun tanpa pandang umur, tempat atau pendidikan. Susunannya sangat bebas, hanya ia terbagi dalam dua bagian yang fundamental, yang biasa disebut dengan sampiran dan isi. Sampiran pada parikan adalah bagian pertama yang merupakan wadah, dan isi pada parikan adalah bagian kedua yang menjadi pelengkap, pasangan atau jodoh bagi wadah yang sudah dipersiapkan. Kedua bagian tersebut di dalam parikan, menjadi sebuah loro-loro atunggal, atau dwitunggal, monodualisme. Sebagaimana dwitunggal manapun yang mungkin ada di dunia ini, yang satu mustahil ada tanpa yang lain, dan demikian sebaliknya. Kehadirannya baru sah, alamiah, dan vital apabila kedua-duanya ada, saling melengkapi dan memenuhi fungsinya sebagai karya seni yang indah, mendidik dan sekaligus menghantarkan kenyataan hidup (Toer, 2011).
Kemudian Toer (2011) juga menjelaskan bahwa sampiran berisi bunyi yang merupakan tantangan, apabila tantangan sudah dilontarkan maka jawaban harus diberikan. Tidak ada tantangan tidak ada pula jawaban, sebaliknya tidak mungkin ada jawaban jikalau tanpa adanya tantangan. Dari segi bentuk pun, parikan baru memenuhi fungsinya apabila sudah terlaksana kerjasama serasi antara kedua unsur yang saling melengkapi ini (Toer, 2011).
Penjelasan di atas, menunjukkan bahwa parikan adalah sebuah pantun, hal ini dapat dibuktikan bahwa di dalam parikan, terdapat sampiran dan isi. Malah parikan memiliki karakter yang sangat spesifik dan mirip dengan karakter dan ciri pantun Melayu. Di mana bagian sampiran atau dalam pantun Melayu disebut dengan pembayang maksud memiliki hubungan semantik dan terkadang mengandung hubungan yang saling melengkapi pada isi pantun. Sehingga beberapa pendapat bahwa pembayang maksud pada pantun Melayu adalah sebuah frase yang mengantarkan isi pantun namun sudah terlihat dari sampiran atau pembayang maksudnya. Seorang pengkaji pantun, Muhammad Haji Salleh pernah mengutip pendapat Za’ba dan kemudian ditulis oleh Eizah Mat Hussain (2019) di dalam sebuah bukunya berjudul “Simbol dan Makna dalam Pantun Melayu” menjelaskan bahwa,
“…jika pantun yang cukup elok boleh dilihat pembayangnya mengandungi maksud pantun itu dengan cara kias dan bayangan disambilkan kepada gambaran-gambaran alam dan sebagainya. Tujuan yang dimaksud itu telah ada terbayang disitu, tetapi nada terang seolah-olah sengaja ditudung…” (Za’ba, 1965; Salleh, 2006; Hussain, 2019).
Hal tersebutlah yang kemudian menjadi sebuah pertanda bahwa parikan juga memenuhi unsur pantun dan bahkan memiliki karakteristik yang hampir sama dengan pantun Melayu. Antara parikan dan pantun Melayu yang memiliki sifat yang sama dengan dibuktikan dengan adanya keterkaitan, hubungan dan ketergantungan sampiran dan isi secara semantik. Ciri seperti inilah yang kemudian menjadi parikan itu adalah sebuah pantun yang sampiran dan isinya adalah dwitunggal. Dua hal yang saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Sehingga kualitas pantun atau parikan itu memiliki kualitas yang baik.
Di dalam parikan ada beberapa istilah yang memang tidak dijumpai pada pantun, namun hal ini hanya istilah penyebutan untuk sebuah bagian pada parikan. Dalam menyebutkan baris, di dalam parikan disebut dengan gatra. Masing-masing gatra terdapat dua potongan yang disebut dengan pedhotan. Di dalam parikan yang berjumlah empat baris, maka dua gatra pertama disebut dengan sampiran dan dua gatra selanjutnya disebut dengan isi. Sementara parikan yang berjumlah dua baris maka gatra pertama disebut sampiran dan gatra kedua disebut dengan isi (Toer, 2011). Parikan dua baris disebut dengan parikan tunggal, sementara pada pantun, pantun yang terdiri dari dua baris disebut dengan karmina atau pantun dua kerat, dan bersajak A,A. Sementara parikan yang terdiri dari empat baris disebut dengan parikan ganda, dan bersajak A,B,A,B (Toer, 2011). Persajakan ini juga sama halnya dengan pantun pada umumnya.
Mari kita simak beberapa contoh parikan berikut yang juga dikaitkan dengan pantun. Perhatikan parikan tunggal berikut yang kita bandingkan dengan karmina atau pantun dua kerat. Berikut contoh parikan tunggal.
Mlaku-mlaku wira-wiri (4 kata, 8 suku kata)
Tekan gardhu nyandung watu (4 kata, 8 suku kata)
Ngaku-aku dadi tani (4 kata, 8 suku kata)
Nyandhak garu jare luku (4 kata, 9 suku kata)
(Sumber Parikan Ganda: Toer, 2011)
Perhatikan pantun berikut.
Apa guna pasang pelita (4 kata, 9 suku kata)
Jika tidak dengan sumbunya (4 kata, 9 suku kata)
Apa guna bermain mata (4 kata, 9 suku kata)
Jika tidak dengan sungguhnya (4 kata, 9 suku kata)
(Sumber pantun: Marsden, 1784)
Perhatikan antara keduanya, perbedaan antara kedua tradisi lisan ini hanyalah dari sisi penggunaan bahasanya, jika pada parikan ganda menggunakan bahasa Jawa yang memang ciri khas dari parikan, sementara pada pantun adalah bahasa Melayu, dan pantun itu merupakan pantun yang cukup tua yang ditemukan oleh Marsden dan kemudian ditulis di dalam bukunya berjudul The History of Sumatera (1784). Antara keduanya jika dilihat dari adanya sampiran dan isi, maka keduanya memiliki bagian tersebut, di mana dua baris pertama tampak merupakan karakteristik bahasa sampiran, dan dua baris berikutnya disebut isi. Penggunaan jumlah kata dan suku kata adalah sesuai dengan jumlah kata dan suku kata pada pantun, demikian juga persajakan yang digunakan, bahkan tidak hanya persajakan akhir, namun persajakan juga bermain di tengah atau pada kata kedua sebagaimana pada kata yang dicetak tebal. Hal ini menyimpulkan bahwa parikan sesungguhnya adalah berjenis pantun yang terdapat di tanah Jawa, dan hal ini membuktikan bahwa pantun bukanlah hanya terdapat di tanah Melayu saja, dan masih banyak daerah lain yang memiliki sifat tradisi lisan yang bentuknya adalah pantun atau serupa pantun, dan parikan adalah tradisi lisan di Jawa yang juga adalah pantun.***